Nada “senggakan”, dalam terminologi seni gamelan atau karawitan, bermakna teriakan untuk membangkitkan kantuk. Karena konteksnya adalah seni, tentu, “senggakan” juga memiliki aturan. Tidak asal berteriak. Harus merunut atau seirama (laras) dengan nada. Muaranya, meski bermaksud menjagakan kantuk, teriakan itu tetap terdengar indah. Misalnya, yaee…yaee…yaee..haaa…ooooo.
Istilah senggakan juga dikenal akrab di blantika seni suara burung perkutut. Malah, “senggakan”, bisa jadi juru kunci pengungkit suara perkutut untuk mendapatkan nilai sempurna (45). Pendekatan lebih sederhana, “senggakan” nyaris serupa dengan arsenal pada ujung peluru kendali. Arsenal itulah yang mampu mencipta ledakan dahsyat dengan hasil sempurna.
Blantika seni suara butung perkutut juga mengenal kata senggakan. Tempatnya ada pada ujung suara (tengkung). Survei lapangan membuktikan, dewan juri serta merta bakal menancapkan bendera “koncer penthol” (bendera lima warna berujung bola pingpong), manakala mendapati perkutut memiliki senggakan.
Berbeda dengan senggakan nayaga pada pentas karawitan, senggakan pada ujung perkutut ini, berupa bunyi noklak (klaaa), sebanyak satu atau dua kali di antara tengkung. Misalnya, Klaaa …ke-tek-ke-tek…kong, kla…ke-tek-ke-tek…kong (setelah berbunyi stabil begitu, kemudian di tengah-tengahnya muncul bunyi) Kla…ke-tek-ke-tek..klaa, selanjutnya kembali lagi ke bunyi standar awal, Kla…ke-tek-ke-tek…kong.
Berani bertaruh, jika Anda memiliki perkutut dengan suara senggakan seperti itu, burung Anda dipastikan bakal mengantongi nilai sempurna di kolom penilaian irama. Sebab, kualitas irama perkutut itu, tak hanya lenggang dan senggang. Tapi juga mengandung unsur elok.
Elok dalam irama perkutut bermakna, merdu dan indah. Tidak blero atau fals, rata dan laras. Keindahan irama akan terdengar lebih sempurna jika diselingi suara senggakkan.
Sayangnya, mencetak burung kampiun yang memiliki suara senggakan terbukti tidak gampang. Sepanjang sejarah konkurs perkutut, tidak setiap musim lomba muncul burung jawara yang memiliki suara senggakan.
Di even puncak apresiasi perkutut nasional berlebel Hamengkubuwono Cup atau Piala Raja, misalnya, tidak setiap tahun muncul burung jawara bersuara senggakan. Kecuali, barangkali, saat masa kejayaan Misteri Bahari, di paroh tahun 90-an.
Sejumlah pakat perkutut, cenderung geleng-geleng kepala jika sudah diajak bicara soal bunyi senggakan. Pasalnya, bunyi senggakan ini cenderung muncul secara natural dan spontan.”Saya kita factor X lebih dominan, jika bicara soal suara senggakan burung perkutut,” ungkap Lamidi, Ketua Departemen Penjurian P2SI Korwil Jatim, Senin (28/12).
Data empiris menunjukkan, tidak semua perkuktut jawara mampu meletupkan suara senggakan. Yang lebih sulit lagi, burung bersuara senggakan, juga tidak setiap bunyi mengeluarkan senggakan. “Sepertinya bunyi senggakan perkutut dalam lomba sama dengan hoky. Atau anugrah. Sebab, burung itu bisa menyalip di tikungan,” lanjut Lamidi.
Yang dimaksud menyalip di tikungan dalam lomba perkutut adalah menyalip nilai tertinggi pada saat-sat kritis. Atau pada saat penentuan kejuaraan.(bersambung) andi casiyem sudin)