Monday, November 30, 2009

Harga Perkutut Sama Dengan Kepercayaan



Mohammad Yusuf,52, importir perkutut berdarah Kelantan yang kini bermukim di Tulungagung mengatakan, harga seekor perkutut ditakar dengan kepercayaan. Kualitas bunyi maupun materi (genetik), berada di urutan kedua.

Komentar ini sepintas tampak controversial. Tapi di sektor hobis, terutama hobi perkutut, justru musti dijadikan acuan dasar. Ingin bukti? Tawarkan perkutut jawara pada orang yang bukan penggila perkutut. Dia hanya akan terbengong, jika sudah menyentuh sisi harga. Sebaliknya, penggila perkutut dijamin tidak akan keluarkan duit hingga ratusan juta jika orang yang menawari perkutut bukan pemain setara dia. “Tapi untuk mendapatkan kepercayaan pasar ya tidak gampang. Butuh waktu panjang,” katanya, Jumat (20/11).

Kontroversi di sektor bisnis perkutut ini, sungguh, merupakan peluang empuk bagi pemain yang berhasil memeta pasar. Sebab, tidak jarang, seorang pakar mampu meraup keuntungan puluhan juta, dari sosok perkutut yang awalnya hanya dibeli ratusan ribu., Sebaliknya, di tangan orang yang bukan ahlinya, perkutut bernilai jutaan seringkali hanya dibanting senilai ratusan ribu.

Itu dia. Lantaran barang yang dijualbelikan adalah perkutut, apa pun kiatnya, pemahaman karakteristik perkutut itu sendiri wajib dilakukan. Hasil survey menunjukkan, banyak peternak perkutut bongkar kandang lantaran tidak mendapat kepercayaan pasar. Padahal investasi yang dipertaruhkan tak sedikit. Mencapai miliaran.

Sony Bird Farm adalah contoh konkret peternak burung perkutut yang gagal memformat segmen pasar. Padahal, Kongmania dalam negeri tahu persis, di era 80-an centra ternak perkutut milik Koh Jin, Madiun, ini masuk The Big Ten Indonesian Bird Farm.

“Rata-rata kegagalan mereka dalam berternak karena dua alasan. Jika gagal dalam memeta segmen pasar, ya karena peternak itu sendiri belum memahami karakteristik suara perkutut,” ujar Lamidi, ketua Sie Lomba Persatuan Pelestari Perkutut Seluruh Indonesia (P3SI) Korwil Jatim.

Menurut dia, banyak pemain yang belum paham mengapresiasi anggungan perkutut. Pemain, kebanyakan, keburu merasa bisa (rumangsa bisa), kemudian beranggapan burung miliknya paling bagus, disbanding burung punya orang lain. Dampaknya, ketika perkutut gacoannya gagal berkoar di lomba, serta merta mencari kambing hitam. “Di sisi ini juri perkutut yang biasanya jadi kambing hitam. Dianggap tidak bisa kerja,” kata Lamidi.

Yakinlah, pemain perkutut dengan ego semacam itu, tidak akan bertahan lama dalam persaingan bisnis hobis. Sebab bisnis hobis butuh kesabaran tinggi. Ini mengingat, segmen pasar bisnis hobis relative terbatas. Boleh dibilang, hanya melingkat-lingkar di kalangan penghobi sejenis. Sahamnya, praktis hanya bertumpu pada kepercayaan pasar dan brand image. Sekali menciderai pelanggan, jangan harap bisa menggaet pelanggan lain.

Dus, disarankan kepada pemula untuk memahami dulu karakteristik suara perkutut sebelum terjun ke bisnis perkutut.

Mengutip acuan dasar Tata Cara Konkrus dan Penjuarian produk P3SI, nilai dalam konkurs burung perkutut adalah pernyataan perbandingan keindahan suara yang diwujudkan dalam angka-angka tertentu.

Penilaian keindahan suara dalam konkurs itu sendiri dirinci ke dalam lima (5) sasaran penilaian. Yakni : a) Suara depan, dengan kriteria panjang, membat (mengayun) bersih. b) Suara tengah, dengan kriteria bertekanan, lengkap dan jelas. c). Suara ujung dengan kriteria bulat, panjang dan mengalun. d). Irama dengan kriteria senggang, lenggang, elok dan indah. e). Dasar suara atau kualitas suara dengan kriteria tebal, kering, bersih dan jernih.

Dari lima kriteria itu, suara tengah lebih sering memunculkan silang pandang dan perdebadan panjang. Sejumlah pakar mengakui, kesulitan mendasar dalam memahami suara perkutut adalah mengapreasiasi suara tengah. “Kalau soal memahani suara angkatan (suara depan,red), irama, dasar suara atau suata ujung biasanya lebih mudah,” ujar Suyanto, juri nasional P3SI asal Jatim.

Misalnya, memahami suara depan atau angkatan. Kuncinya hanya panjang memabat dan mengayun dan bersih. Bersih dalam hal ini harus terbebas dari konsonan “er” atau “ek”. Misalnya, wao….. atau klao…. atau juga waee … mau pun waeenng.... Yang agak sulilt barangkali, cara mengukur panjang pendeknya suara angkatan. Pertanyaannya, bagaimana mengukur panjang pendeknya suara depan? (bersambung) andi casiyem sudin