Monday, November 30, 2009

Kupas Tuntas Soal Perkutut (1)

Orang boleh bilang, penghobi berat burung perkutut adalah pemimpi. Utopis dan kurang kerjaan. Tapi fakta berbicara, dari sekian banyak dunia hobis, terutama satwa dan fauna, perkutut menduduki ranking teratas penyelamat investasi bisnis di sektor “klangenan”.

Sebut misalnya, peternak perkutut papan atas Indonesia, seperti WAT (Watma Subandi, Tasikmalaya, Jabar), Terminal Perkutut (Bambang Atmaja – A Hong, Surabaya), Kopa (A Lung-Surabaya) dan Palem (Abay-Tasik Malaya), serta AMIR (H Andi, Kediri). Mereka merupakan figur miliader dengan kepemilikan pabrik atau usaha yang sudah menggurita.

Bambang Atmaja, adalah sosok ekportir kayu, A Lung, pemilik pabrik kabel dan konveksi kualitas ekspor bermerek KOPA, dan H Andi, merupakan pengusaha armada berat skala nasional. Selain melirik bisnis perkutut, H Andi juga pemilik peternakan Kuda balap di perbatasan Kediri-Madiun, dengan omset ribuan ekor kuda.

Belasan tahun sudah mereka masuk ke bisnis perkutut, dan selama itu pula mereka tetap bertahan. Padahal, modal yang dipertaruhkan tak cuma bernilai ratusan juta, tapi bisa tembus miliaran rupiah. Pertanyaannya, mereka betah bergelut di dunia perkutut, hanya karena lantaran seneng dan hobi? Its imposible!

Ingin bukti? Apa yang dilakukan Abay, Tasik Malaya, dalam musim konkurs atau lomba perkutut tahun ini. Peternak legendaris bermerek Palm (di dunia perkutut disebut dengan gelang atau ring yang dipasang di kaki burung) itu, rela merogoh kocek hingga setengah miliar, hanya untuk berburu materi indukan jantan jawara benama Aljazair milik Bambang Atmaja (Terminal Perkutut-TP).

Padahal di tangan TP, burung bergelang MLT generasi trah murni Bangkok Selatan itu, sudah dikembangkan dan beranak pinak. Di kandang Palm, anakan atau piyikan Aljazair, dibandrol sebesar Rp 50 juta - Rp75 juta dengan sistem booking. Masgulnya, dalam empat bulan terakhir ini, peminat piyikan dari trah Aljazair, sudah memenuhi buku catatan pemesan.”Hampir semua temen yang main ke sini, booking anak kandang Aljazair,” ujar Watma, saat dihubungi melalui telpon, Rabu (18/11).


Booking merupakan istilah pesanan anak atau piyik perkutut yang dilakukan konsumen ke peternak. Jangan salah tafsir, sistem booking ini yang dihargai bukan telur perkutut. Tapi piyik perkutut. Atau lebih dikenal sebagai bakalan. Maknanya, pembayaran dilakukan setelah telor menetas jadi piyik dan bisa makan sendiri (bakalan terbang).

Dalam olah hitung breeding perkutut, Watma mampu mengembalikan modal dalam tenggang waktu 6 bulan. Pola yang diterapkan adalah breeding dengan konsep inang, atau baby sister. Takaran normal, musim panen ternak perkutut bersiklus empat lima hari sekali. Dupa pekan waktu telur dan pengeraman. Empat pekan pembesaran anak. Tapi dengan pola inang, musim panen bisa dipercepat dalam tenggang waktu hanya empat pekan. (Sistem breeding perkutut akan kami kupas dalam tulisan berikutnya)

Fakta dalam skala kecil, apa yang dialami Handoko alias Ting Han, penghobi berat asal Kota Madiun. Pemilik toko konveksi Istana Ibu, tiga pekan lalu baru saja melego perkutut indukan seharga Rp 75 juta berikut seekor piyik perkutut usia 3 bulan yang dihargai Rp 30 juta. Padahal Ting Han mengaku, indukan burung itu dulunya hanya dibeli senilai Rp 7, 5 juta.

Peminatnya A Lung, peternak berlebel Kopa asal Surabaya.Hebatnya, ternyata di tangan A Lung, piyikan yang ditranfers dari Ting Han itu mampu berkoar di lapangan dan terbabtis jadi Juara I kelas piyikan. “Burung itu sekarang dibandrol Rp 125 juta,” ujar Lamidi, pakar perkutut asal Surabaya.

Dus, hanya dalam tempo sekitar tiga pekan, A Lung mampu memformat modal awal senilai Rp 30 juta, jadi Rp 125 juta. Alias, naik sekitar Rp 85 juta.

Pertanyaannya, bagaimana mereka mampu menikmati sisi manis dalam berbisnis perkutut, dan kriteria apa yang musti dimiliki perkutut bernilai unggul yang disebut-sebut sebagai perkutut kampiun atau jawara? Bersambung (andi casiyem sudin)