Pola dasar suara perkutut dobel dan dobel plus, kini jadi genre mutakhir tren perkutut nasional. Wajar, jika kongmania memburunya. Meski untuk mendapatkan burung klangenan itu, penggemar musti mengeluarkan ratusan hingga di atas satu miliar.
Abay, peternak belebel Palm, Tasik Malaya, rela merogoh kocek hingga setengah miliar, hanya untuk berburu materi indukan jantan jawara benama Aljazair milik Bambang Atmaja (Terminal Perkutut-TP).
Sementara di kandang Palm, anakan atau piyikan Aljazair, dibandrol sebesar Rp 50 juta - Rp75 juta dengan sistem booking. Bassic blood perkutut dobel plus berlebel Meteor, Selancar, Surabaya, sudah beberapa musim konkurs, membuka penawaran anak Meteor dengan bandrol Rp 30-45 juta.
Bandrol yang dipasang untuk anakan perkutut papan atas ini, jelas cukup menggiurkan.Namun, musti diyakini, tidak semua keturunan perkutut juara mampu jadi juara. Bahwa, pameo perkutut juara 99 persen lahir dari indukan juara, benar adanya. Tapi survey juga membuktikan, tidak sedikit generasi perkutut jawara, tumbang di lapangan.
“Kabanyakan hancurnya di suara tengah. Kalau tidak “ketelek” ya “kopong” atau cowong (kosong,Red),” ujar Kho Ting Han, pakar perkutut Madiun.Acuan mendasar, perkutut bukan benda mati yang bisa diproduk dengan mesin. “Factor X sangat menentukan,” lanjutnya.
Karenanya, disarankan kepada pemula, agar lebih cermat dalam memilih perkutut yang bakal dibeli. Terutama, mencermati suara tengah (ketek) dan ujungnya. Sebab, banyak perkutut berpola dasar suara dobel dan dobel plus, tapi jika dicermati lebih njlimet lagi, ternyata “kopong”. Kalau tidak begitu ya “ketelek”.
Kopong adalah istilah untuk menengarai bunyi ketek yang tidak lengkap alias kosong. Pengamatan lapangan, banyak perkutut berpola dasar suara dobel dan dobes plus, tapi jika dijlimeti lagi sebenarnya kosong.
Kongmania mengakui, cukup sulit membedakan ketek lengkap dan kopong. Sebab, jika didengar sekilas, suara ketek kopong itu nyaris menyerupai ketek lengkap. Misalnya, hur..te..te..te..te..kung, Atau klaa…te…te…te...te…kung. Atau juga waii…te…te…te…te…kung.
Mencermati contoh tersebut, sekilas suara tengah perkutut itu masuk dalam kriteria dobel. Yakni, lantaran tersusun dari enam ketukan. Tapi jika dijlimeti lagi, suara tengah perkutut tersebut sebenarnya kopong atau kosong. Sebab hanya terbentuk dari pengulangan kata ‘te’. Padahal, pakem suara tengah perkutut harus terbentuk dari dua suku kata atau dua silap. Yaitu, ‘ke’ dan ‘tek’.
Kurangnya pemahaman sebagian kongmania membedakan soal ketek ini, acapkali menyulut keributan di tengah konkurs. Terutama, jika dalam konkurs tersebut muncul sejumlah burung berpola dasar dobel atau dobel plus, yang sekilas, terdengar nyaris serupa.
Dampaknya, juri sering dijadikan kambing hitam.Tudingan jelek, tidak jarang mengarah ke juru pengadil di lapangan ini. Padahal, bagi pakar perkurut, perbedaan antara ketek dobel dan ketek kopong, meski tipis, tetap berbeda.
Tipisnya perbedaan ini pula, diakui, menjadikan nilai tawar ketek dobel atau dobel plus setara dengan ketek kopong. Di pasar bebas, perkutut bersuara ketek kopong, asal membentuk rangkaian enam ketukan atau lebih, dibandrol dengan harga selangit.Sasarannya adalah pemula yang belum paham apresiasi suara.
Sungguh, rendahnya apresiasi di kalangan kongmania ini, memicu terjadinya ambiguitas dalam menengarai suara ketek. Banyak penggemar yakin, pokok berbunyi enam ketukan, perkutut itu masuk ke kriteria dobel. Meski, harus diakui, bahwa keyakinan ini keliru.
Jebakan berikutnya dalam apresiasi suara perkutut adalah membedakan ketek lengkap dan “ketelek”. Bagaimana bentuk suara perkutut “ketelek” itu?(bersambung) andi casiyem sudin.